Secuil Kisah Di Gerimis Senja Hari

HomeKisah Mbah Radi

Secuil Kisah Di Gerimis Senja Hari

Suatu siang, dikala hujan mengguyur. Sesesorang dengan memanggul sebuah plastik sampah masuk melewati gerbang rumah. Plastik sampah berwarna hitam ya

Badut Merajalela, Demi Dapur Mengepul
Jangan Menunggu Membahagiakan Mereka
Tak Ada Yang Salah Membeli Barang di Warung

Suatu siang, dikala hujan mengguyur. Sesesorang dengan memanggul sebuah plastik sampah masuk melewati gerbang rumah. Plastik sampah berwarna hitam yang dalam benak ini menebak berisi botol-botol plastik itu ia turunkan. Sesaat ia disana, lalu berjalan lebih dekat ke arah kaca rumah. Duduk merenung meratapi hujan yang tiba-tiba datang, terkadang kepala itu tertunduk.

Terbersit dalam hati untuk menemaninya melewati hujan, ku bawa secangkir wedang jahe panas untuk seseorang diluar sana. Ku sapa dan kupersilahkan untuk menikmati wedang jahe tersebut, dengan sedikit malu seseorang tersebut ternyata masih begitu muda. Obrolan kami dimulai dengan seruputannya.

Sedikit susah ketika mengobrol dengan sang anak muda ini. Entah apa yang terjadi, entah kenapa. Dia masih begitu muda, kelahiran 1995 yang berarti sekarang berumur 25 tahun, tamatan Sekolah Menengah Pertama, kita panggil saja Jono. Di sela obrolan, sesekali Jono bernyanyi. Suaranya sebenarnya bagus juga. Di ujung obrolan, ternyata dia tidak tahu jalan pulang. Dia hanya tahu alamat rumahnya dan nama bapaknya, juga saudara-saudaranya. Tak ada alamat pastinya.

Kuputuskan untuk mengantarkannya pulang dengan modal nekat, karena alamat rumahnya juga tidak terlalu jauh dari sini sekitar 4 km. Berbekal nama dusun dan desa kubuka Google Maps, ku point-kan ke Balai Dusun. Agak susah memang berkendara roda dua dengan membawa plastik sampah seukurang karung 25 kg, mungkin lebih, dengan muatan penuh. Tapi tekad sudah bulat, gas sudah kutarik pantang untuk mundur.

Kususuri jalan, hingga tiba disebuah jalan Jono mengenalinya, dia memanduku untuk mencapai rumahnya. Hingga motor ini berhenti disebuah rumah yang sederhana. Berdiri di depan pintu rumah itu, aku menyapa, namun tak ada yang keluar. Ketika kuputuskan untuk pamit dengan Jono, dia menolak dan meminta untuk menunggu dia mencari bapaknya. Jono masuk dan keluar bersama seorang bapak. Ucapan pertama yang keluar dari bapak itu adalah ucapan terimakasih. Beliau mempersilahkan masuk mengajak ngopi dahulu. Sambil menunggu gerimis yang mulai datang untuk kembali pergi ini, kuputuskan untuk menerima tawaran bapak itu.

Ditemani segelas kopi hitam, obrolan dimulai. Diawali dengan ucapan terimakasih, beliau bercerita, ternyata Jono telah meninggalkan rumah sejak dua hari yang lalu. Obrolan berlanjut, hingga ku tahu ternyata sebuah operasi amandel gagal lah yang membuat Jono seperti ini. Operasi tersebut menyebabkan syaraf Jono sedikit terganggu. Sesekali Jono ikut bercerita dengan tawa khasnya. Jono yang pernah menjadi juara adzan se-Kabupaten itu terpaksa menguburkan cita-citanya menjadi seorang tentara. Di SMP, Jono tak pernah berada di bawah rangking 3. Jono juga seorang yang jujur, juga seorang yang taat dalam agamanya.

Hujan mulai mereda, waktunya untuk pamit dan kembali kepada rutinitas biasanya. Memandang dunia yang tak lagi peduli dengan orang di dalamnya, dunia yang penuh dengan egoisme dan melupakan hakikat manusia yang sesungguhnya.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0